Anonim | http://berbagi-berita-terbaru-internasional.blogspot.com |
Selasa, 30 Juli 2013
KOTA PARE, SULSEL - Selama Ramadan, permintaan akan tempe dan tahu semakin tinggi di Kota Pare Pare, Sulawesi Selatan. Meski permintaan meningkat, produsen tempe dan tahu tak bisa memproduksi panganan itu dalam ukuran normal. Alasannya, kenaikan harga bahan bakar minyak telah mendongkrak harga kedelai. "
Kami pun terpaksa mengurangi ukuran tempe dan tahu," kata Munira, pengusaha tahu Kampung Cempae, Kelurahan Wattang Soreang, Kecamatan Soreang, Kota Parepare, Senin, 29 Juli 2013. "Harga jual tempe juga kami naikan, dari Rp 1.000 menjadi Rp 2.500 per buah." Setelah pemerintah menaikan harga BBM, Munira melanjutkan, harga kedelai impor dan lokal juga ikut naik. Biasanya, kedelai impor bisa dibeli dengan harga Rp 6.000 per kilogram.
Namun, sekarang Munira harus merogoh kocek hingga Rp 8.000 per kilogram. Sementara harga kedelai lokal naik dari Rp 5.000 per kilogram menjadi Rp 6.000 per kilogram. Produsen tahu dan tempe yang lain, Suryana, mengatakan harga kedelai lokal memang lebih murah ketimbang kedelai impor. Namun secara kualitas, kedelai impor lebih unggul. Sementara kedelai lokal pada umumnya banyak yang rusak, warna kehitam-hitaman, berukuran kecil, dan berdaya tahan rendah. Hanya bertahan satu hari, kemudian rusak. "Jadi kedelai impor lebih dominan digunakan sebagai bahan baku dibanding kedelai lokal yang cepat membusuk."
Pada Ramadan ini, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pare Pare menggelar pasar murah di 22 kelurahan selama tiga hari. Kata Kepala Dinas, Amran Ambar, komoditi yang paling dicari pengunjung pasar murah adalah minyak goreng kemasan. Untuk produk ini, pasar murah menawarkan harga Rp 15.000 per 2 liter. Harga yang jauh lebih murah ketimbang di pasaran yang mencapai Rp 23.000 per 2 liter. "Untuk pasar murah ini, kami menyediakan ribuan liter minyak goreng kemasan,".
***