Ketika Uang menjadi tolak ukur Sudah saatnya berfikir what we do, bukan what we get.
saya masih ingat, ketika saya masih SMA dan menjadi mahasiswa baru, betapa materi (uang) begitu mendominasi alasan, bahkan menjadi ruh seseorang menempuh pendidikan, kuliah atau sekolah.
Setiap siswa, dari Tk sampai SMA, ketika ditanyakan cita-> citanya, selalu bertendensi ke materi.
Walaupun wujud dan alasannya sama (baiknya), entah jadi dokter, pilot, direktur, pengacara, arsitek, pengusaha, polisi atau tentara, tapi ujung-ujungnya tetap ke materi. Walaupun yang diucapkan ingin mengabdi ke negara, ingin menjunjung tinggi keadilan, bisa membela negara, menciptakan lapangan kerja dan lain sebagainya. Tapi ada semacam tujuan tersembunyi, tujuan yang tak terucapkan, dan sebenarnya lebih mendominasi dan mendarah dagingi alasan tersebut. Apa itu? agar hidupnya kelak berkecukupan alias sukses dan kaya raya.
Setiap siswa, dari Tk sampai SMA, ketika ditanyakan cita-> citanya, selalu bertendensi ke materi.
Walaupun wujud dan alasannya sama (baiknya), entah jadi dokter, pilot, direktur, pengacara, arsitek, pengusaha, polisi atau tentara, tapi ujung-ujungnya tetap ke materi. Walaupun yang diucapkan ingin mengabdi ke negara, ingin menjunjung tinggi keadilan, bisa membela negara, menciptakan lapangan kerja dan lain sebagainya. Tapi ada semacam tujuan tersembunyi, tujuan yang tak terucapkan, dan sebenarnya lebih mendominasi dan mendarah dagingi alasan tersebut. Apa itu? agar hidupnya kelak berkecukupan alias sukses dan kaya raya.
Parahnya hal itu tidak saja menjadi tendensi siswa tersebut, tapi juga orang tua yang menyekolahkannya. Sehingga wajar, dorongan dan do'a-do'a yang terucapkan pun ujung-ujungnya juga sekedar masalah kemakmuran, kemapanan dan kekayaan anaknya.
Mengapa terjadi demikian? Lingkunganlah yang membentuknya. Kita tahu di tahun-tahun tersebut -- bahkan sampai sekarangpun masih mendominasi setiap kesuksesan selalu diukur dari materi.
Seberapa dia kaya, itulah ukuran kesuksesannya. Dari sampai presiden dan keluarganya, para pejabat, pengusaha-pengusaha nasional, bahkan para> guru dan orang tua, serta kawan-kawan disekitar kita mayoritas berfikiran seperti itu. Bahwa ujung kesuksesan adalah kekayaan.
Bahkan pejabat pun, tidak cukup menjadi ukuran sukses sebelum menjadi kaya.
Ketika melihat dokter, bukan profesinya yang dilihat betapa dia ahli mengobati orang, tapi lihatlah berapa duit yang bisa dikumpulkan ketika buka praktek.
Ketika melihat pengacara, lihatlah rumah dan mobilnya yang mentereng, hanya bermodalkan pintar berbicara, bukan kemampuannya membela keadilan. Ketika melihat pejabat, polisi atau tentara, lihatlah perubahan drastis hidupnya ketika sebelum atau sesudah menjabat, bukan prestasinya melindungi, membela atau mengayomi rakyat.
Ketika melihat pengusaha, betapa dia hebat karena bisa membeli apa saja, bukan karena menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi orang lain. Bahkan ketika ada yang menjadi 'guru' pun, masih saja ada yang melihat gaji bulanannya, mending daripada yang pengangguran.
Oleh karena itulah wajar saja jika setiap orang ingin menjadi kaya, karena itulah 'trade mark' keberhasilan hidup. Buku-buku kunci menjadi sukses (kaya) menjadi laris manis, seminar-seminar kesuksesan (tentang menjadi kaya) walaupun mahal menjadi selalu penuh. Dan tak ketinggalan lembaga atau jurusan pendidikan yang menjajikan kesuksesan (kekayaan) menjadi favorit dan terlaris walaupun biaya masuknya pun termahal. Tak lupa pula profesi-profesi pembuat orang kaya seperti dukun & paranormal, juga laris manis walaupun paranormalnya sendiri belum tentu kaya.
bersambung....