Tuesday, June 25, 2013
0 komentar

Harga BBM dan UMKM

5:44 PM
Koran Jakarta
Selasa, 25 Juni 2013

Dampaknya terlihat dari peningkatan harga bahan baku energi dan barang lainnya sehingga menaikkan biaya produksi. Di sisi lain, kenaikan biaya bahan baku tidak diikuti dengan peningkatan permintaan produk/jasa karena daya beli masyarakat semakin lemah.
 
Dewasa ini, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah tersebar di seantero Nusantara. Mereka tak dapat menghindar dari dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) karena BBM selalu digunakan masyarakat umum maupun dunia usaha.

Maka, perlu dicari strategi yang tepat agar UMKM tetap dapat bertahan di tengah gejolak harga-harga.
Tahun 2006, ada survei dengan sampel 37.950 pelaku UMKM dari 33 provinsi yang menggunakan BBM seperti industri tahu tempe, kerupuk, pengolahan makanan, penangkapan ikan, warung makan, penggilingan padi, batik rumah tangga, genteng, batu bata, angkutan perkotaan, dan ojek. Kajian itu relevan karena pada Oktober 2005 ada kebijakan nasional pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga BBM.

Ada indikasi bahwa hampir seluruh unit usaha menggunakan BBM dan pelumas meski ada alternatif briket batu bara. Minyak tanah paling banyak digunakan, kemudian solar dan bensin. Empat tahun terakhir, pemakaian minyak tanah menipis karena sulit dicari dan digeser ke gas.

Variabel harga BBM berpengaruh pada biaya produksi UMKM, yang pada gilirannya berdampak pada tenaga kerja serta menimbulkan aneka respons pelaku UMKM dalam menghadapi gejolak energi tersebut. Beban biaya produksi membengkak rata-rata keseluruhan UMKM sebesar 28,1 persen dengan perincian usaha mikro 34 persen, kecil 24,6 persen, dan menengah 29,6 persen. Sebaliknya, rata-rata pendapatan bersih UMKM anjlok 18,37 persen dan penyerapan tenaga kerja menurun 2,45 persen.

Untuk dapat bertahan, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh UMKM. Secara normatif, untuk menutupi kenaikan biaya produksi dilakukan dengan menaikkan harga jual produk. Namun, dewasa ini, di tengah persaingan pasar yang ketat dan penurunan daya beli masyarakat, strategi menaikkan harga jual produk/jasa tidak serta-merta mendapat respons positif pasar, apalagi jika produk tersebut bukan kebutuhan primer.

Ada sekitar 76,8 persen UMKM yang menaikkan harga jual produk. Yang lain mengurangi ukuran/kuantitas barang (45,4 persen), mengurangi kualitas produk 63,6 persen, mengurangi keuntungan usaha 39,7 persen, efisiensi biaya produksi 39,7 persen, dan strategi lainnya 6,11 persen.

Mereka juga mengurangi tenaga kerja. Sebelum kenaikan harga BBM, setiap usaha mikro mempekerjakan tenaga kerja rata-rata dua orang, namun setelah kenaikan harga BBM, tinggal satu setengah. Pengusaha kecil menurunkan tenaga dari 5,9 menjadi 5,7. Pengusaha menengah dari 21,1 orang menjadi 20,6 orang.

Pengurangan itu sebagai upaya menekan biaya produksi dan berkaitan dengan volume produksi yang makin rendah. Mereka juga mengurangi jam kerja atau mengubah status tenaga kerja dari permanen menjadi paro waktu.

Pada tahun 2007, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI) juga mengaji dampak kenaikan BBM terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan sektor utama industri rumah tangga, nelayan, dan transportasi. Tingkat kesejahteraan diukur dari proporsi pendapatan masyarakat untuk konsumsi beras dan lauk-pauk. Selanjutnya juga dipertimbangkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat tidak hanya dipengaruhi kenaikan harga BBM, tetapi juga beberapa variabel lain, seperti dana kompensasi BBM. Akhirnya, besar atau kecilnya dampak kenaikan harga BBM terhadap kesejahteraan akan ditentukan karakter mata pencaharian utama rakyat.

Warga yang bergerak di sektor dengan banyak BBM akan terimbas lebih besar sehingga tingkat kesejahteraannya makin merosot. Kesimpulan lain dari kajian LIPI terungkap bahwa kenaikan harga BBM terakhir Oktober 2005 berpengaruh signifikan pada kinerja UMKM.

Dampaknya terlihat dari peningkatan harga bahan baku energi dan barang lainnya sehingga menaikkan biaya produksi. Di sisi lain, kenaikan biaya bahan baku tidak diikuti peningkatan permintaan produk/jasa karena daya beli masyarakat semakin lemah.

Namun, diakui bahwa pengalaman empiris membuktikan para pelaku UMKM memunyai fleksibilitas dalam menghadapi tantangan tersebut. Pada masa krisis 1997, mereka mampu bertahan. Tentunya, dari kenaikan kali ini, mereka juga diharapkan mampu berkelit berdasarkan pengalaman tersebut.
Oleh Pariaman Sinaga
Penulis aktif dalam kajian UMKM, dosen Univ Pancasila
 
Toggle Footer
Top